Wednesday 9 May 2012

Peran Media dan Pendidikan Politik Rakyat Melalui Dialog Demokrasi


Dalam beberapa pernyataannya, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi kepada Tvone menyebut-nyebut tentang hilangnya ruang-ruang berdialog yang substantif karena konstalasi politik terkait kontroversi kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terlanjur mendominasi ranah publik. Akibatnya, rakyat pun seolah dihadapkan dengan potret buram demokrasi, ketimbang proses pembelajaran politik yang seharusnya menjadi ruang pendewasaan segala elemen negara dalam menyikapi isu-isu kenegaraan.
 
Pendidikan politik yang mencerdaskan dengan jalan membuka wacana dan wawasan global, memberiinformasi kepada masyarakat, memfasilitasi ruang-ruang dialog interaktif agar tercapai satu mekanisme deliberatif demi mencapai konsensus bersama sepertinya kurang maksimal dalam pencapaiannya terkait kontroversi kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM beberapa hari yang lalu.
 
Misalnya saja klaim terhadap demonstrasi mahasiswa yang anarkis, tuduhan pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum, politisasi peran-peran institusi pemerintah dan kendaraan politik/parpol, sampai kepada sikap mengkritisi mekanisme persidangan lembaga representatif negara yang dianggap mengindahkan situasi yang memanas di luar rumah rakyat.
 
Apakah Demokrasi dalam Politik?
 
Ketika ada partai politik berdemonstrasi, muncul opini yang menyebutnya sebagai trik kendaraan politik dalam mencuri start kampanye. Sementara disisi lain, dalam sudut pandang keilmiahan, partai politik tersebut tengah melakukan peran-peran dalam menyuarakan aspirasi rakyat di ruang publik, sebagaimana fungsi-fungsi partai politik dalam teori Mirriam Budiarjo misalnya. Sayangnya pemahaman dalam berbagai sudut pandang ini tidak sampai kepada masyarakat, karena menyebut peran-peran parpol menurut pakar ini atau pakar itu bukanlah sesuatu yang biasa dikonsumsi publik.
 
Kasus lain yang juga telah menafikkan diskursus demokrasi itu sendiri adalah aggapan bahwa bahwa demokrasi Indonesia telah memberikan kebebasan yang kebablasan sehingga para demonstran menjadi anarkis dalam aksinya. -Demokrasi itu gaduh- mengutip pernyataan Komaruddin Hidayat, dan demokrasi itu mahal sebagaimana ingin disampaikan dalam tulisan ini. Cost Democracy  kedepannya jelas akan berkalilipat dari klaim biaya 5 milliar yang saat ini harus dikeluarkan untuk mengganti pagar-pagar lembaga Dewan yang dirusak atau kantor-kantor polisi yang menjadi muntahan emosi para demonstran. 
 
Penegakkan demokrasi tidak hanya menuntut keluarnya materi, tetapi juga perjuangan keras, bahkan jika melihat bagaimana the Arab Spring di Timur Tengah menjadi awal menegakkan cita-cita anti otoritarian dengan jalan memilih demokrasi dibutuhkan pengorbanan, tidak hanya ceceran darah tapi juga menghilangnya nyawa. Itu pun demokrasi tidak lantas tegak dititik ketika negara colaps dan berganti sistem pemerintahan yang dianggap lebih memberi ruang partisipasi kepada rakyat. 
 
Terkait mekanisme persidangan anggota Dewan yang terkesan mengulur-ngulur waktu adalah satu sisi yang lain dari praktek politik yang kadang mengharuskan proses lobi-melobi ditempuh hingga berjam-jam, bahkan pelaksanaan persidangan yang bertele-tele seolah memutar-mutar isu adalah sesuatu yang eksis dalam wilayah strategi/manajemen politik. Untuk mengantisipasi  kondisi politik ini ada sikap bijak yang sebetulnya bisa diambil, seperti oleh pemerintah untuk turut menenangkan situasi demonstrasi yang memanas -meskipun dengan konsekuensi yang harus dipertimbangkan- misalnya kemunculan presiden untuk melakukan pidato kenegaraan yang tujuannya meredam emosi rakyat (baca: demonstran).
 
Demokrasi dalam politik adalah suatu proses yang panjang, akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat lokal dan dapat terpengaruh oleh konstalasi global. Karenanya, demokrasi bukanlah sesuatu yang paling sempurna sehingga luput dari image-imageyang terkesan negatif seperti politik kekerasan, praktek civil disobedience (pembangkangan sipil), hingga strategi licin aktor-aktor politik dari yang mampu terbaca publik sampai kepada yang tercover dengan sempurna. 
 
Namun yang perlu menjadi acuan penting dalam proses berdemokrasi adalah pertimbangan-pertimbangan moral ketika pemahaman tentang kebebasan berbenturan dengan sisi psikologis dan emosi para pelaku dalam mekanisme berdemokrasi. Hal ini dapat menekan prilaku-prilaku yang tidak diharapkan sepanjang prosesnya yang pada prinsipnya menuntut pemahaman tentang demokrasi tidak hanya di wilayah praktek, tapi juga dari segi substansi. 
 
Idealnya proses berdemokrasi adalah menjadikan demokrasi itu sendiri sebagai wahana dimana pembelajaran politik dan pendewasaan politik dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang kebebasan yang bertanggungjawab, namun juga tidak menutup kemungkinan munculnya pembangkangan sipil lewat aksi-aksi demonstrasi yang berkonsekuensi kepada rusaknya fasilitas-fasilitas publik yang sebetulnya tidak diharapkan dan harus sebisa mungkin ditekan. 
 
Jika kesejahteraan ada, rakyat tidak akan berteriak-teriak lantang tentang nasibnya. Mahasiswa, buruh dan elemen rakyat lain tidak akan membuat jantung penonton-penonton aksi demo berdetak lebih kencang karena kecemasan akan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.
 
Media Pers dan Dialog Demokrasi
 
Persoalannya, dalam proses panjang berdemokrasi tersebut, ketika argumen-argumen yang misalnya tidak didasari atas pertimbangan akan opini-opini para pakar muncul sebagai alasan protes terhadap kebijakan pemerintah, maka akuntabilitas isu akan kembali dipertanyakan publik, kapabilitas si pemberi argumen pun menjadi diragukan. Karena itu diperlukan satu bentuk pendidikan politik yang dilakukan dua tahap, yaitu secara konseptual berupa pemahaman nilai-nilai fundamental dan secara praksial berdasarkan fakta dan komparasi data-data lapangan, yang keduanya dapat berlangsung dengan memahami terlebih dahulu sesuatu yang substantif dan esensial.
 
Menengok kepada persoalan kebutuhan yang substantif dan esensi, serta kurangnya pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, salahsatunya adalah dikarenakan oleh minimnya ruang-ruang dialog yang sesungguhnya dapat menjadi mekanisme awal pembelajaran politik kontekstual. Pendidikan formal tidak dapat kemudian memenuhi apa yang menjadi kebutuhan rakyat agar tercerdaskan dan terinformasikan, sehingga peran elemen-elemen lain sangat diharapkan. Karenanya, institusi Pers sebagai salahsatu pilar demokrasi perlu untuk semakin giat memainkan peran mencerdaskan masyarakat dengan dialog-dialog bermuatan filosofis dan komparasi data rill yang dapat menjadi pendidikan politik rakyat. 
 
Dengan demikian, selain peran media-media online yang belakangan ini dianggap aktif dalam menumbuhkembangkan ide-ide demokrasi, khususnya setelah fenomena Wikileaks 2010, media elektronik lain dalam hal ini televisi sebetulnya juga harus mengambil peran lebih dalam pendidikan politik rakyat berbasis dialog demokrasi, karena televisi adalah akses memperoleh informasi yang paling mudah untuk mayoritas masyarakat dinegeri ini. Sebagai penutup satu kutipan dari Poster (1995) the age of the public sphere asface-to-face talk is clearly over: the question of democracy must henceforthtake into account new forms of electronically mediated discourse.
 
Menyambut pelaksanaan Pilkada Jakarta, Pemilu 2014 dan agenda-agenda demokrasi bangsa yang lain, diharapkan kedepannya, media elektronik seperti televisi dapat berperan lebih aktif lagi dalam menyuburkan budaya berdialog berbasis kepada nilai-nilai fundamental dan tentu saja dalam koridor wawasan keilmiahan, sehingga diskursus demokrasi tidak akan sampai kepada masyarakat sebagai sesuatu keadaan yang dianggap fakta terpolitisasi, melainkan adalah proses pendewasaan politik yang menuntut lebih banyaknya interaksi serta pembelajaran kenegaraan.

No comments:

Post a Comment