Dalam beberapa pernyataannya, pengamat
politik Burhanuddin Muhtadi kepada Tvone menyebut-nyebut tentang hilangnya
ruang-ruang berdialog yang substantif karena konstalasi politik terkait
kontroversi kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terlanjur
mendominasi ranah publik. Akibatnya, rakyat pun seolah dihadapkan dengan potret
buram demokrasi, ketimbang proses pembelajaran politik yang seharusnya menjadi
ruang pendewasaan segala elemen negara dalam menyikapi isu-isu kenegaraan.
Pendidikan politik yang mencerdaskan dengan jalan membuka wacana
dan wawasan global, memberiinformasi kepada masyarakat, memfasilitasi
ruang-ruang dialog interaktif agar tercapai satu mekanisme deliberatif demi
mencapai konsensus bersama sepertinya kurang maksimal dalam pencapaiannya
terkait kontroversi kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM beberapa
hari yang lalu.
Misalnya saja klaim terhadap demonstrasi mahasiswa yang anarkis,
tuduhan pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum, politisasi peran-peran
institusi pemerintah dan kendaraan politik/parpol, sampai kepada sikap
mengkritisi mekanisme persidangan lembaga representatif negara yang dianggap
mengindahkan situasi yang memanas di luar rumah rakyat.
Apakah Demokrasi dalam Politik?
Ketika ada partai politik berdemonstrasi, muncul opini yang
menyebutnya sebagai trik kendaraan politik dalam mencuri start kampanye. Sementara
disisi lain, dalam sudut pandang keilmiahan, partai politik tersebut tengah
melakukan peran-peran dalam menyuarakan aspirasi rakyat di ruang publik,
sebagaimana fungsi-fungsi partai politik dalam teori Mirriam Budiarjo misalnya.
Sayangnya pemahaman dalam berbagai sudut pandang ini tidak sampai kepada
masyarakat, karena menyebut peran-peran parpol menurut pakar ini atau pakar itu
bukanlah sesuatu yang biasa dikonsumsi publik.
Kasus lain yang juga telah menafikkan diskursus demokrasi itu
sendiri adalah aggapan bahwa bahwa demokrasi Indonesia telah memberikan
kebebasan yang kebablasan sehingga para demonstran menjadi anarkis dalam
aksinya. -Demokrasi itu gaduh- mengutip pernyataan Komaruddin Hidayat, dan
demokrasi itu mahal sebagaimana ingin disampaikan dalam tulisan ini. Cost Democracy kedepannya
jelas akan berkalilipat dari klaim biaya 5 milliar yang saat ini harus
dikeluarkan untuk mengganti pagar-pagar lembaga Dewan yang dirusak atau
kantor-kantor polisi yang menjadi muntahan emosi para demonstran.
Penegakkan demokrasi tidak hanya menuntut keluarnya materi, tetapi
juga perjuangan keras, bahkan jika melihat bagaimana the Arab Spring di Timur Tengah menjadi
awal menegakkan cita-cita anti otoritarian dengan jalan memilih demokrasi
dibutuhkan pengorbanan, tidak hanya ceceran darah tapi juga menghilangnya
nyawa. Itu pun demokrasi tidak lantas tegak dititik ketika negara colaps dan berganti sistem
pemerintahan yang dianggap lebih memberi ruang partisipasi kepada rakyat.
Terkait mekanisme persidangan anggota Dewan yang terkesan
mengulur-ngulur waktu adalah satu sisi yang lain dari praktek politik yang
kadang mengharuskan proses lobi-melobi ditempuh hingga berjam-jam, bahkan
pelaksanaan persidangan yang bertele-tele seolah memutar-mutar isu adalah sesuatu
yang eksis dalam wilayah strategi/manajemen politik. Untuk mengantisipasi
kondisi politik ini ada sikap bijak yang sebetulnya bisa diambil, seperti
oleh pemerintah untuk turut menenangkan situasi demonstrasi yang memanas
-meskipun dengan konsekuensi yang harus dipertimbangkan- misalnya kemunculan
presiden untuk melakukan pidato kenegaraan yang tujuannya meredam emosi rakyat
(baca: demonstran).
Demokrasi dalam politik adalah suatu proses yang panjang, akan
selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat lokal dan dapat
terpengaruh oleh konstalasi global. Karenanya, demokrasi bukanlah sesuatu yang
paling sempurna sehingga luput dari image-imageyang terkesan negatif seperti
politik kekerasan, praktek civil
disobedience (pembangkangan sipil), hingga strategi licin
aktor-aktor politik dari yang mampu terbaca publik sampai kepada yang tercover
dengan sempurna.
Namun yang perlu menjadi acuan penting dalam proses berdemokrasi
adalah pertimbangan-pertimbangan moral ketika pemahaman tentang kebebasan
berbenturan dengan sisi psikologis dan emosi para pelaku dalam mekanisme
berdemokrasi. Hal ini dapat menekan prilaku-prilaku yang tidak diharapkan
sepanjang prosesnya yang pada prinsipnya menuntut pemahaman tentang demokrasi
tidak hanya di wilayah praktek, tapi juga dari segi substansi.
Idealnya proses berdemokrasi adalah menjadikan demokrasi itu
sendiri sebagai wahana dimana pembelajaran politik dan pendewasaan politik
dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang kebebasan yang bertanggungjawab, namun
juga tidak menutup kemungkinan munculnya pembangkangan sipil lewat aksi-aksi
demonstrasi yang berkonsekuensi kepada rusaknya fasilitas-fasilitas publik yang
sebetulnya tidak diharapkan dan harus sebisa mungkin ditekan.
Jika kesejahteraan ada, rakyat tidak
akan berteriak-teriak lantang tentang nasibnya. Mahasiswa, buruh dan elemen
rakyat lain tidak akan membuat jantung penonton-penonton aksi demo berdetak
lebih kencang karena kecemasan akan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.
Media Pers dan
Dialog Demokrasi
Persoalannya, dalam proses panjang
berdemokrasi tersebut, ketika argumen-argumen yang misalnya tidak didasari atas
pertimbangan akan opini-opini para pakar muncul sebagai alasan protes terhadap
kebijakan pemerintah, maka akuntabilitas isu akan kembali dipertanyakan publik,
kapabilitas si pemberi argumen pun menjadi diragukan. Karena itu diperlukan
satu bentuk pendidikan politik yang dilakukan dua tahap, yaitu secara
konseptual berupa pemahaman nilai-nilai fundamental dan secara praksial
berdasarkan fakta dan komparasi data-data lapangan, yang keduanya dapat
berlangsung dengan memahami terlebih dahulu sesuatu yang substantif dan
esensial.
Menengok kepada persoalan kebutuhan yang substantif dan esensi,
serta kurangnya pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, salahsatunya adalah
dikarenakan oleh minimnya ruang-ruang dialog yang sesungguhnya dapat menjadi
mekanisme awal pembelajaran politik kontekstual. Pendidikan formal tidak dapat
kemudian memenuhi apa yang menjadi kebutuhan rakyat agar tercerdaskan dan
terinformasikan, sehingga peran elemen-elemen lain sangat diharapkan.
Karenanya, institusi Pers sebagai salahsatu pilar demokrasi perlu untuk semakin
giat memainkan peran mencerdaskan masyarakat dengan dialog-dialog bermuatan
filosofis dan komparasi data rill yang dapat menjadi pendidikan politik
rakyat.
Dengan demikian, selain peran media-media online yang belakangan
ini dianggap aktif dalam menumbuhkembangkan ide-ide demokrasi, khususnya
setelah fenomena Wikileaks 2010, media elektronik lain dalam hal ini televisi
sebetulnya juga harus mengambil peran lebih dalam pendidikan politik rakyat
berbasis dialog demokrasi, karena televisi adalah akses memperoleh informasi
yang paling mudah untuk mayoritas masyarakat dinegeri ini. Sebagai penutup satu
kutipan dari Poster (1995) the age of the
public sphere asface-to-face talk is clearly over: the question of democracy
must henceforthtake into account new forms of electronically mediated
discourse.
Menyambut pelaksanaan Pilkada Jakarta,
Pemilu 2014 dan agenda-agenda demokrasi bangsa yang lain, diharapkan
kedepannya, media elektronik seperti televisi dapat berperan lebih aktif lagi
dalam menyuburkan budaya berdialog berbasis kepada nilai-nilai fundamental dan
tentu saja dalam koridor wawasan keilmiahan, sehingga diskursus demokrasi tidak
akan sampai kepada masyarakat sebagai sesuatu keadaan yang dianggap fakta
terpolitisasi, melainkan adalah proses pendewasaan politik yang menuntut lebih
banyaknya interaksi serta pembelajaran kenegaraan.
No comments:
Post a Comment